Perdagangan Anak Lewat Komunitas Adat, Modus Baru yang Mengkhawatirkan

TVTOGEL — Kasus perdagangan anak kembali mengguncang publik Indonesia. Seorang balita bernama Bilqis (4) yang sempat dilaporkan hilang selama sepekan akhirnya ditemukan di pemukiman Suku Anak Dalam, tepatnya di kawasan SPE Gading Jaya, Kecamatan Tabir Selatan, Kabupaten Merangin, Jambi.

Penemuan ini bermula dari rekaman CCTV di Taman Pakui, Makassar, lokasi terakhir Bilqis terlihat bermain. Dari rekaman itu, polisi berhasil menelusuri jejak panjang yang mengungkap bahwa Bilqis telah diculik dan dijual hingga tiga kali, bahkan berpindah tangan antarprovinsi.

Perjalanan Gelap Bilqis: Dijual hingga Rp80 Juta

Awalnya, Bilqis dijual seharga Rp3 juta kepada seorang perempuan asal Jakarta. Tidak berhenti di situ, ia kemudian dijual kembali ke pihak lain di Jambi dengan nilai Rp30 juta, sebelum akhirnya berpindah lagi ke tangan ketiga—komunitas adat Suku Anak Dalam—dengan harga mencapai Rp80 juta.

Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Pol Djuhandhani, mengungkap bahwa polisi berhasil menyelamatkan Bilqis dan mengembalikannya ke orang tuanya, Dwi Nur Mas dan Fitri. Empat orang pelaku dari tiga provinsi berbeda telah diamankan: SY (30) di Makassar, NH (29) di Sukoharjo, serta MA (42) dan AS (36) di Merangin, Jambi.

“Dari hasil pemeriksaan, MA mengaku sudah menjual sembilan bayi dan satu anak lewat media sosial seperti TikTok dan WhatsApp. Sedangkan NH tiga kali menjadi perantara adopsi ilegal. Motifnya sementara karena tekanan ekonomi,” jelas Djuhandhani dalam konferensi pers di Mapolda Sulsel, Senin (10/11/2025).

Jaringan TPPO yang Semakin Meluas

Kasus Bilqis hanyalah satu dari sekian banyak bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang marak di Indonesia. Sebelumnya, pada Juli 2025, Polda Jawa Barat mengungkap sindikat serupa dengan 13 tersangka dan menyelamatkan enam bayi yang hendak dikirim ke luar negeri.

Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hampir 40% korban perdagangan manusia di dunia adalah anak-anak. Dr. Najat Maalla M’jid, perwakilan khusus PBB untuk isu kekerasan terhadap anak, menyebut bahwa pelaku kini memanfaatkan kemajuan teknologi dan situasi darurat untuk menjalankan praktik jual-beli manusia yang menghasilkan miliaran dolar tiap tahun.

Lebih memprihatinkan, laporan terbaru menunjukkan para sindikat kini juga menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk mengurangi risiko terdeteksi oleh aparat hukum.

Eksploitasi Komunitas Adat: Celah Baru yang Dimanfaatkan Sindikat

Modus dalam kasus Bilqis menunjukkan arah baru perdagangan anak di Indonesia. Jika sebelumnya banyak kasus bermula dari kehamilan tidak direncanakan atau faktor ekonomi keluarga, kali ini pelaku justru memanfaatkan kerentanan komunitas adat.

Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Andy Ardian, menjelaskan bahwa dalam beberapa komunitas adat, akses terhadap layanan administrasi dan digital sangat terbatas. Hal inilah yang dimanfaatkan sindikat untuk mengaburkan identitas anak.

“Dalam kasus Bilqis, Suku Anak Dalam sebenarnya tidak tahu kalau anak yang mereka rawat itu korban penculikan. Mereka hanya diberi surat bermaterai yang menyebutkan penyerahan anak dari keluarga miskin,” ujar Andy.

Setelah dua hari, barulah masyarakat adat menyadari bahwa anak tersebut korban kejahatan dan menyerahkannya secara sukarela kepada aparat. Menurut Andy, pola seperti ini menunjukkan modus baru sindikat perdagangan anak yang memanfaatkan lemahnya sistem hukum dan administrasi di wilayah adat.

Andy menambahkan, penting bagi negara untuk tidak menstigma komunitas adat sebagai pelaku, melainkan memberikan edukasi hukum dan identitas kependudukan agar mereka tidak lagi menjadi korban manipulasi.

Perempuan dan Ekonomi: Faktor Rentan dalam Sindikat TPPO

Hal lain yang menarik dari kasus ini adalah banyaknya pelaku perempuan. Andy menilai, hal ini tak lepas dari kondisi ekonomi yang sulit, membuat sebagian perempuan mudah dimanfaatkan sindikat sebagai perantara perdagangan anak.

“Banyak perempuan yang tidak memiliki sumber penghasilan tetap. Kondisi ini dimanfaatkan oleh sindikat yang menjadikan mereka eksekutor lapangan,” katanya.

KPAI: Perlu Pengawasan Digital dan Komitmen Platform Online

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, menilai perkembangan teknologi punya andil besar dalam memperluas praktik TPPO. Berdasarkan catatan KPAI sepanjang 2024–2025, 70 persen dari 17 kasus perdagangan anak melibatkan media sosial sebagai sarana rekrutmen atau transaksi ilegal.

Ai meminta Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) seperti platform digital untuk aktif menutup akun-akun yang terindikasi memperdagangkan anak. Namun, pengawasan tidak bisa hanya diserahkan ke pemerintah atau platform. Orang tua juga memegang peran penting dalam pengawasan dan komunikasi aktif dengan anak.

“Orang tua harus punya sistem komunikasi dan koordinasi yang jelas. Misalnya, ketika anak bermain di taman, beri tahu penjaga atau orang di sekitar agar ikut mengawasi,” jelas Ai.

Ia juga mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan ruang publik aman bagi anak, dilengkapi dengan CCTV dan sistem keamanan terpadu agar risiko penculikan dapat diminimalkan.

Kesimpulan: Saatnya Bertindak Melawan Sindikat Perdagangan Anak

Kasus Bilqis membuka mata publik bahwa perdagangan anak kini tidak hanya terjadi di dunia maya atau lewat sindikat urban, tetapi juga mulai menyusup ke komunitas adat yang rentan secara sosial dan administratif.

Penanganan TPPO harus menyentuh semua lapisan: penegakan hukum, edukasi masyarakat adat, pemberdayaan ekonomi perempuan, hingga peningkatan keamanan digital. Tanpa langkah komprehensif, perdagangan anak akan terus beradaptasi dengan wajah baru yang lebih sulit dideteksi.