Kenapa UU Tipikor Harus Masukkan Aturan Ganti Rugi untuk Korban Korupsi?

EPICTOTO — Desakan untuk memasukkan aturan ganti rugi bagi korban korupsi ke dalam revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) semakin menguat. Isu ini menjadi pembahasan utama dalam Sekolah Pendampingan Korban Korupsi yang digelar Caksana Institute bersama Transparency International Indonesia (TII) di Yogyakarta, Kamis (4/12/2025).

Menurut Direktur Caksana Institute, Wasingatu Zakiyah, UU Tipikor yang berlaku saat ini memiliki celah besar karena hanya berfokus pada kerugian negara. Padahal, korban sesungguhnya dari tindak pidana korupsi adalah masyarakat luas, namun mereka tidak diidentifikasi secara jelas dalam mekanisme pemulihan kerugian.

“UU Tipikor belum mengakomodasi warga sebagai korban yang berhak atas pemulihan. Inilah mengapa pengorganisasian korban menjadi krusial. Isu korupsi harus bergeser dari sekadar isu aktivis menjadi isu bersama seluruh elemen masyarakat,” jelas Zakiyah dalam forum tersebut.

Ia mencontohkan, bencana banjir yang sering terjadi bisa jadi akibat perizinan yang serampangan. Pemberian izin usaha yang mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan lingkungan pada akhirnya merugikan masyarakat secara langsung.

Dalam acara itu, para peserta juga dilatih untuk menghitung kerugian yang ditimbulkan oleh korupsi dalam nilai rupiah. Ternyata, dampak tidak langsung dari satu kasus korupsi di suatu daerah bisa mencapai miliaran rupiah, mulai dari kerugian ekonomi hingga dampak sosial dan psikologis.

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zaenur Rohman, menegaskan bahwa korupsi merupakan kejahatan dengan lingkup korban yang sangat luas dan bersifat merusak. Oleh karena itu, menurutnya, perlu ada upaya kolektif untuk mengorganisir korban agar dapat mengajukan gugatan.

“Sangat tidak realistis mengharapkan korban korupsi melapor sendiri. Mereka harus berhadapan dengan pelaku yang umumnya memiliki kuasa, uang, dan koneksi yang kuat. Pengorganisasian menjadi kunci,” ujar Zaenur.

Ia menjelaskan setidaknya ada tiga jalur hukum yang dapat ditempuh korban, yaitu melalui gugatan perdata, gugatan gabungan (perdata dan pidana), atau mekanisme restitusi untuk mendapatkan ganti kerugian materiil dan immateriil.

Namun, ketiga jalur ini masih terbentur pada ketiadaan payung hukum yang spesifik dan jelas dalam UU Tipikor. Sebuah jurnal yang dikutip Zaenur berjudul “Reformulasi Mekanisme Kompensasi untuk Pemenuhan Hak Korban Korupsi di Indonesia” menyoroti bahwa peraturan saat ini belum memiliki mekanisme yang efektif untuk memastikan hak-hak korban terpenuhi.

Jurnal tersebut merekomendasikan perlunya mekanisme kompensasi khusus dalam Rancangan UU Tipikor yang sesuai dengan karakteristik kerugian yang dialami korban korupsi.

Upaya gugatan gabungan pernah dicoba dalam kasus korupsi bantuan sosial (bansos) dengan terdakwa mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, pada 2021. Sayangnya, pengadilan menolak permohonan ganti rugi dari korban. Penolakan ini semakin mengukuhkan pandangan bahwa tanpa pengaturan yang eksplisit dalam undang-undang, posisi korban akan terus lemah.

Oleh karena itu, revisi UU Tipikor dinilai sebagai momentum strategis untuk mengintegrasikan hak restitusi bagi korban. Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa masyarakat, yang menjadi korban paling terdampak dari tindak pidana korupsi, mendapatkan hak mereka untuk dipulihkan.